Terkadang seorang public relation mengalami ketergantungan akan pengetahuan yang terkumpul di dalam memori. Hal ini adalah penyakit yang dimiliki oleh seorang informan sehingga ia akan berbicara keluar jalur. Dan hal itu dapat terjadi dengan tanpa kesadaran kita hingga kita pernah berbicara, "Saya tadi ngomong apa ya?"
Oleh Syaiful Azhary NIM 156120200111004 Tulisan ini berisi hasil review saya terhadap Jurnal “Public Relations Internasional kritik dan Reformulasi, 1991, yang ditulis oleh Carl Botan”. Tujuan review ini adalah untuk mengeksplorasi Kritik dan reformulasi Public Relation Internasional. Saya menemukan bahwa Carl Botan 1991 berbicara tentang Public Relations internasional yang juga selalu Public Relations Antarbudaya di negara-negara yang berbeda termasuk dalam konteks sejarah yang membahas bagaimana asumsi etnosentris terhadap Public Relations yang membatasi efektivitas dan pemahaman tentang budaya lain. Jurnal ini menggambarkan bagaimana Public Relations tumbuh pesat di seluruh dunia tetapi tidak merata dimana perkembangan terbesar terjadi di AS dan EC. Hal ini terjadi karena praktek Public Relations dan pendidikan Akademisi terkonsentrasi di AS, masyarakat ekonomi Eropa EC, antara kekuatan-kekuatan ekonomi yang muncul dari tepi pacific. Jurnal ini juga berbicara tentang kegagalan dalam mengenali perbedaan antara bangsa dan budaya dan bagaimana matriks Public Relations yang dapat digunakan untuk mengkritik perspektif etnosentris secara umum pada Public Relations. Menurut Botan 1991 hal itu bisa terjadi karena AS dan EC sering terlibat dalam praktek PR di negara-negara berkembang tetapi sering sehingga didasarkan pada asumsi-asumsi etnosentris tentang Public Relations yang membatasi efektivitas dan pemahaman tentang budaya lain. Pandangan penulis ini didasari pendapat etnosentris dari Illman 1980 yang diasumsikan bahwa ada tidak ada perbedaan besar antara memotivasi dan membujuk orang di rumah dan di negara-negara lain yang mengarah pada asumsi bahwa apa yang diketahui tentang public relations di atau EC dapat diterapkan di negara-negara berkembang dengan hanya sedikit penyesuaian lebih jelas dan dangkal, bahasa, hukum, dan perbedaan bisnis. Namun disisi lain, Kinzer dan Bohn memiliki perspektif yang berbeda, mereka memperingatkan bahwa praktek domestik Humas ditempa di pasar Amerika yang nyaman mungkin menjadi tidak efektif dan bahkan berisiko dalam beberapa budaya. Hal ini jelas memungkinkan bahwa humas profesional yang terlatih dan berpengalaman berdasarkan kondisi dan situasi dalam satu kebudayaan yang mereka miliki saat ini. Model lain adalah Humas dalam manajemen di MNC’s model polycentric di praktisi PR berasal dari negara tuan rumah. Dengan model ini, para praktisi negara tuan rumah dipercaya untuk melakukan semua rencana dan program yang didasarkan pada pengalaman mereka sendiri. Akan tetapi hal hanya simbol untuk memenuhi kebutuhan MNC’s yang tetap solid dan bermasalah. Dalam jurnal ini juga dijelaskan beberapa model PR di MNC’s, tapi dua model yang paling umum adalah etnosentris dan polycentric. Model etnosentris diasumsikan dengan tidak adanya perbedaan besar antara memotivasi dan membujuk orang-orang di rumah dan di negara-negara lain, karena asumsi ini bekerja di pusat. Dengan kata lain orang-orang akan merespon terhadap rangsangan sama dengan cara yang sama. Pendekatan yang kedua adalah model polycentric dimana praktisi PR negara tuan rumah memiliki otonomi. Mereka yang dipercayakan dengan melaksanakan rencana dan program berbasis pengalaman mereka sendiri. Model ini menggunakan praktisi yang mengetahui dan memahami negara tuan rumah hanya sebuah simbol untuk memenuhi kebutuhan organisasi. Dalam pendekatan polycentrism, saya melihat Strategic Relations hanya sebagai bentuk ketakutan berlebih dari apa yang saya sebut sebagai konsep glocal, dimana kebutuhan perusahaan multinasional dan global bertemu penghalang lokal yang khusus dibangun secara internal budaya dan perlu untuk diselesaikan dari dalam, hal tersebut dibenturkan dengan kearifan lokal yang menembus bahkan jauh dalam struktur sosial. Dalam polycentrism ini, diharapkan bahwa hubungan masyarakat di negara-negara tuan rumah menyesuaikan sistem dan kebijakan dalam negeri asal sesuai lokalitas mereka di mana mereka berada. Sistem ini juga memiliki beberapa kekurangan di mana yang mereka akan memiliki tidak memiliki koordinasi antara organisasi dengan organisasi lain atau negara lain, maka tidak akan ada cara standar untuk menilai proses dan tingkat keberhasilan program yang dilakukan oleh para praktisi Public Relations yang terkait dengan kepentingan perusahaan. Kemudian timbul pertanyaan Apakah bisa PR yang memiliki berbeda budaya bisa melayani?. Seperti yang kita tahu bahwa ada banyak perbedaan budaya dan nasional di antara negara-negara maju yang membuat studi tentang PR dan praktek agak berbeda antara mereka. Namun, perbedaan-perbedaan ini kecil apabila kita bandingkan dengan perbedaan antara mereka sebagai sebuah kelompok bangsa. Berbeda dengan negara komunis yang mana fungsi Public Relations mungkin tidak dianggap penting dalam melakukan bisnis. Saya dapat menyimpulkan bahwa norma dan standar mungkin sesuai dalam satu kebudayaan tetapi tidak dalam budaya lain. Fungsi Public Relations digunakan dalam cara yang berbeda oleh berbagai jenis organisasi termasuk pemerintah, agama dll dalam bentuk pelayanan masyarakat, informasi umum, urusan publik dan bentuk yang lain. Penulis menggunakan matriks hubungan masyarakat yang menurut mereka dapat digunakan perspektif kritik terhadap etnosentrissecara umum pada Public Relations terhadap kegagalan dalam menentukan pentingnya perbedaan antara bangsa dan budaya. Saya juga dapat menyimpulkan bahwa Public Relations internasional adalah juga dan selalu berkaitan dengan hubungan antar budaya dan bagaimana proses pelaksanaannya mencirikan pencampuran budaya yang berbeda. Perbedaan kebudayaan dan bangsa membuat efek yang besar pada perspektif dan fungsi Public Relations untuk setiap negara di dunia dan bagaimana hal itu mempengaruhi pertumbuhan PR serta bagaimana kita menetukan kerangka kerja Public Relations internasional. Saya menutip apa yang disampaikan Kriyantono 2014, pendekatan kritis bertujuan mengubah struktur sosial, politik, dan ekonomi yang membatasi potensi individu. Pendekatan kritis berupaya mengkritisi, menantang, dan mendebat strategi dari kelompok tertentu yang dianggap mendominasi. Biasanya perdebatan ini berpotensi meningkatkan kesadaran akan perlunya perubahan. References Botan, C. 1992. International Public Relations Critique and reformulation. Public Relations Review. 182, 149-159. ISSN 0363-8111 Kriyantono, R. 2014. Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal Aplikasi Penelitian dan Praktik. Jakarta Prenadamedia Group.
Tigapertanyaan untuk menyiapkan public speaking yang inspiratif Banyak orang yang ingin bisa berbicara di depan publik, tapi ga banyak orang yang bersedia investasikan waktu (dan usaha) ketika mempersiapkannya.
Related PapersDalam ilmu komunikasi, penelitian terhadap fenomena-fenomena atau realitas komunikasi terus mengalami perkembangan dari masa ke masa sehingga melahirkan tradisi-tradisi komunikasi yang unik. Menurut Craig—seorang profesor komunikasi Universitas Colorado, sebagaimana ditulis dalam Teori Komunikasi Individu Hingga Massa 2015, ilmu komunikasi memiliki iri atau sifat yang selalu diwarnai dengan berbagai teori dan sudut pandang perspektif. Robert Craig berhasil memetakan ilmu komunikasi ke dalam tujuh 7 bidang tradisi dalam teori komunikasi yang disebut sebagai 7 tradisi Griffin, 200022-35 , yakni Tradisi Sosiopsikologi, Tradisi Sibernetika, Tradisi Sosiokultural, Tradisi Fenomenologi, Tradisi Semiotika, Tradisi Retorika, dan Tradisi Kritis. untuk membaca dalam tampilan "buku digital" bisa klik Fenomena Public Relations Menggunakan Teori-teori Public RelationsFinsensius Yuli Purnama, Effy Paud, Masduki Baseran, Rino F E B R I A N N O Boer, Hasyim Widhiarto, Irwan Irs, Hasmah Zanuddin, Dadi Ahmadi, Sri Sediyaningsih, Heintje Hendriek Daniel Tamburian, Endah Murwani, Yesi Puspita, Nieke Monika, Yuli Widya Madala Surabaya, Djudjur Luciana, Nina Widyawati, Damayanti Wardyaningrum, Wirawan Respati, Eki Baihaki, Rahmat Edi Irawan Rei, Choirul Fajri, Indiwan seto wahjuwibowo, Irwansyah Irwansyah, Dorien Kartikawangi, Suzy Azeharie, Sevly Putri, Melati Putri, inong surayaProsiding Seminar Nasional Ilmu Komunikasi yang dilaksanakan di Padang Sumatera Barat mengangkat tema komunikasi Politik 2014Discourse analysis atau analisis wacana merupakan sebuah metodologi penelitian kualitatif yan sebenarnya juga daat dilakukan secara kuantitatif. Dalam satu-dua dekade terakhir telah bermunculan beberapa riset bidang kesehatan yang mengaplikasikan discourse Bagi umat Islam al-Qur'an merupakan kitab suci yang berisi petunjuk tanpa keraguan, 1 petunjuk kepada jalan yang paling lurus, 2 pembimbing kepada kebenaran, 3 serta penjelas terhadap segalah sesuatu. 4 Meski demikian keyakinan saja ternyata tidaklah cukup, sebab al-Qur'an sebagai petunjuk tidaklah proaktif memberi petunjuk layaknya manusia. Manusialah yang bertanggung jawab membuat al-Qur'an aktif berbicara sehingga ia berfungsi sebagai petunjuk. Agar al-Qur'an proaktif memberi petunjuk kepada umat manusia ke jalan yang benar, para pemikir muslim pun melakukan pembacaan terhadapnya untuk menggali pesan petunjuk tersebut. Meski tujuannya sama, pembacaan tersebut tidak lantas dengan sendirinya melahirkan pemahaman yang sama terhadap al-Qur'an. Ketidaksamaan pemahaman itu tidak hanya dilatari perbedaan latar belakang sosial mereka, tetapi juga pendekatan yang dipakai dan ideologi yang mendasarinya. 5Abtract Contemporary popular discourses about Islam, shari'a and Islamic law in the West is often filled with the issues of terrorism, anti-democracy, human rights violation and women's minor status in Islam, which all lead into negative perception. Unlike such popular views, Western scholars perceive shari'a from various perspectives. They are quite critical to shari'a in a positive sense. This article discusses Western scholarly discourses on shari'a by comparing the thoughts and works of two most prominent figures, Wael B. Hallaq and M. Barry Hooker, who always concern with shari'a, Islamic law and related social issues, such modernity, colonialism and legal system. Based on the model of the study of public figure and grounded its main data on Hallaq's and Hooker's main work, this study shows that these two scholars promote idealistic and contextual perception on shari'a. From the ideal point of view, shari'a is seen a product of scholarly independent work by Muslim jurists, whose authority now is unfortunately taken over by the state. The contextual view regards shari'a as flexible Islamic religious or legal norms that are adaptable to the changing social and political environments so they are easily transferrable into the educational, legal and political system in a country like Indonesia, entailing what is called " national mazhab ". Wacana populer kontemporer tentang Islam, syariat dan hukum Islam di Barat didominasi oleh isu-isu tentang terorisme, anti demokrasi dan pelanggaran hak asasi manusia sampai status minor perempuan dalam Islam, yang memunculkan kesan kurang baik. Berbeda dengan persepsi populer, kalangan sarjana di Barat melihat syariat dari sudut pandang yang beragam. Meskipun tidak dipungkiri
Dinamikapolitik yang diikuti dengan gelombang demokratisasi menguatkan eksistensi Public Relations (PR) sebagai ubiquitous entity. Persimpangan jalan antara PR Politik dengan PR dan Komunikasi Politik menyebabkan pemahaman yang tidak tepat mengenai posisi PR Politik dalam kajian PR.
1. Apa yang menjadi faktor penentu praktek Public Relations? Hasil riset menyebutkan ada 4 faktor penentu praktek PR dalam organisasi. Persepsi Manajemen terhadap PRBudaya OrganisasiKualitas praktisi PRAda tidaknya pressure group Pakar PR menyatakan bahwa jika manajemen menganggap PR itu penting, maka dia akan diposisikan sebagai unit yang penting dalam struktur organisasi. Sebaliknya, apabila manajemen menganggap peranan PR itu kecil, maka dia akan diposisikan sebagai unit kecil saja dan kontribusinya juga tidak akan berarti/kecil. Dalam prakteknya, yang lebih menentukan adalah akses PR kepada top management, bukan hanya posisinya dalam struktur organisasi. Budaya organisasi menentukan kiprah PR. Sejauh Mana dia diberikan peluang atau kewenangan untuk mengembangkan potensinya. PR hanya dapat berkembang dalam organisasi dengan budaya yang terbuka, artinya dalam keseharian, dimungkinkan terjadinya dialog – yang dapat menghasilkan kesefahaman. Hubungan atasan dan bawahan dan antar sesama karyawan dilakukan atas dasar partnership, bukan otoriter dan kaku dalam bentuk perintah semata. Dalam budaya yang terbuka, PR dapat memberikan masukan tanpa ada rasa takut atau khawatir dipersalahkan. Kualitas praktisi PR juga sangat menentukan efektivitas dan kontribusi peran dan fungsi PR ini. Dia harus faham nilai nilai perusahaan yang menjadi pegangan utama kegiatan komunikasi yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Kualitas terdiri dari kemampuan melaksanakan tugasnya, kreativitas termasuk integritas dirinya sendiri. 2. Mengapa orang awam masih mempertanyakan istilah public relations’ dan sering diartikan sebagai sarana promosi dan publikasi lembaga? Dalam banyak kasus ditemukan perjuangan praktisi PR untuk menjelaskan istilah PR, peran dan fungsinya kepada atasannya, karena keterbatasan pemahaman manajemen atau petinggi organisasi terhadap profesi yang masih dianggap baru berkembang ini. Istilah public relations dapat dijabarkan sebagai suatu komunikasi yang strategis, terarah kepada publik tertentu yang dikomunikasikan dengan berbagai saluran komunikasi agar terjadi perubahan sikap. Public relations berbeda dengan komunikasi massa. Sasaran utama praktek PR adalah perubahan sikap publik. Dari yang tidak tahu, menjadi tahu. Dari yang tidak suka menjadi netral kemudian diharapkan setelah ada pemahaman melalui komunikasi terbuka, dialog atas dasar kesamaan posisi, kemudian dapat diharapkan dukungan, memberitakan dan merekomendasikan kepada orang lain tentang suatu kebijakan untuk lembaga/pemerintahan atau pembelian produk / destinasi / jasa – yang dilakukan dalam bentuk aktivitas komunikasi atau event. 3. Apakah ada perbedaan istilah “Humas” dengan “Public Relations” berpengaruh dalam prakteknya sehari-hari? Istilah Humas sering diasosiasikan sebagai praktek komunikasi di lembaga pemerintahan dengan konotasi peran yang cenderung lebih teknikal seperti keprotokolan, dokumentasi, kliping berita dan komunikasi dengan media dan diseminasi informasi. Dalam konteks ini, peran dan fungsi lebih sebatas reaktif’, menanggapi opini publik yang mungkin keliru karena terjadinya distorsi komunikasi. Sementara istilah public relations, banyak digunakan di lembaga swasta. Dalam perkembangannya, istilah ini kurang difahami dan seringkali dipersepsikan negatif, dianggap mengandung pengertian yang kurang baik, misalnya istilah purel’, sehingga sejak tahun 1990an di Indonesia dikenal dengan istilah corporate communication’ disingkat corcom’. Konotasi positif atau negatif terhadap istilah ini sebenarnya bukan merupakan kendala – karena pada prakteknya yang dinilai adalah hasil kerja Humas, PR atau CorCom ini – apakah hanya sebatas pemadam kebakaran, penyambung lidah pimpinan, atau sebagai jembatan organisasi dengan konstituennya yang intinya sebagai strategic counselor’ terhadap organisasi dimana praktisi berkarya. Untuk itu, PR harus bersikap proactive’ untuk memberikan pemahaman kepada publik sehingga mendapatkan kepercayaan publik. 4. Humas atau public relations merupakan profesi terbuka Ananto, 2001 yang dinyatakan oleh 90% responden penelitian sederhana yang melibatkan 270 praktisi. Artinya, siapa saja dengan berbagai latar belakang dapat menjadi praktisi dalam bidang ini. Apakah ini menjadi trend di dunia dan di Indonesia ? Banyak penelitian mengenai latar belakang praktisi di bidang public relations ini yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi tuntutan kerja seorang praktisi, semakin diperlukan pemahaman dan keterampilan yang lebih dari dari sekedar kurikulum yang diajarkan di sekolah. Disini kemudian muncul istilah generalist’ dan specialist’ dan kalau di organisasi praktisi public relations dunia dimana saya berkembang, dikenal istilah professional’ untuk mereka yang memahami ilmu dan praktek PR, serta mereka yang menderung masuk ke dunia ini tanpa latar belakang ilmu disebut sebagai enthusiastic amateur’. Di Indonesia, sedang dicoba melalui pendidikan Lembaga Sertifikasi Profesi LSP yang memberikan pengakuan terhadap pengetahuan, kemampuan dan keahlian seseorang. Sertifikasi memang diperlukan untuk mencari pekerjaan – tetapi tidak dapat digunakan untuk meyakinkan lingkungan, terutama atasan dimana kita bekerja, karena pada dasarnya kompetensi di lapangan’ yang paling dicari dan dinilai bukan Sertifikasi. Sertifikasi hanya merupakan ticket to ride’ – tetapi bagaimana menjadi the most effective rider adalah persoalan yang lain. 5. Praktek PR yang konservatif tidak dapat menjawab kompleksitas permasalahan yang terjadi. Apa tantangan praktisi PR di era digital sekarang ini? Indikator apa yang menyatakan bahwa seorang PR dapat disebut sebagai professional? Semua potensi praktisi perlu dikerahkan untuk dapat mengikuti tantangan dampak dari keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi komunikasi yang secara signifikan merubah pola komunikasi organisasi secara keseluruhan. Indikator yang jelas dapat dilihat apakah ada unsur Kode Etik Profesi PR yang dilanggar dalam menjalankan praktek PR, atau tabrak saja’ karena tidak tahu, adanya tuntutan atasan, pasar atau target pencapaian nilai ekonomi. Praktisi PR yang profesional, akan patuh pada Kode Etik Profesi. Di Negara maju, setidaknya dalam organisasi profesi PR dunia, dimana saya berkembang, pelanggaran terhadap kode etik ini dapat mengiring seorang anggota untuk 1 diperingati 2 dibekukan keanggotaannya dan 3 diberhentikan sebagai saja, misalnya menyebarkan berita yang sifatnya provokatif, ber-politik, memberi uang suap, memanfaatkan fasilitas yang bukan haknya. Sayangnya, di Indonesia, Kode Etik Kehumasan baru sebatas wacana – belum benar benar diterapkan pada Anggota. Sejak 1992, belum pernah ada seorang praktisi PR kena sanksi Kode Etik. Siapa yang berani mulai? 6. Berbagai kendala dihadapi oleh praktisi PR antara lain dengan atasannya yang kurang memahami peran dan fungsi PR. Bagaimana cara mempersempit kesenjangan antara potensi praktisi PR yang terhambat karena faktor internalnya? “Kami tahu apa yang harus kami lakukan, akan tetapi kendala birokrasi menghambat tugas kami sehingga ya sudah, terserah atasan maunya apa”. Dimanapun di dunia ini, yang namanya atasan – selalu merasa lebih tahu daripada bawahannya. Rasa lebih tahu ini secara perlahan tapi pasti dapat mulai dikurangi melalui pendekatan persuasif dalam bentuk komunikasi yang sifatnya advocacy – berupa story telling, atau analisa kasus terhadap peristiwa yang terjadi pada lembaga lain biasanya pesaing dan bagaimana strategi komunikasi yang sebaiknya dilakukan, sehingga dapat keluar dari permasalahan yang dihadapi exit strategy. Pendekatan rapport’ dengan atasan ini, perlu dilakukan secara sistematis dengan memperkenalkan early warning system’ yang merupakan peran penting dalam praktek kehumasan. Biasanya praktek PR yang manajerial dan strategis, baru dapat dibentuk, jika terjadi krisis. Cara lain dengan mengadakan praktek simulasi / role play yang dihadiri oleh pimpinan organisasi what if”, yang dapat disisipkan dalam acara tahunan yang dilakukan dalam suasana santai – tapi ada key message’ yang terarah kepada top manajemen – sehingga diharapkan adanya pemahaman mengenai peran dan fungsi PR yang lebih strategis. 7. Apakah semua lembaga harus memiliki Humas yang strategis? Lembaga atau organisasi yang berfungsi hanya sebatas memberikan pelayanan kepada masyarakat lebih mementingkan diseminasi informasi kepada publik yang berkepentingan. Jika tidak banyak terdapat perubahan kebijakan, tidak banyak terjadi gejolak – diperlukan Humas sebatas memberikan pelayanan informasi. Semakin tinggi tingkat kepentingan publik terhadap keberadaan lembaga itu, semakin diperlukan Humas yang manajerial dan strategis – untuk mengantisipasi reaksi publik atas kebijakan baru yang akan tinggi tekanan dari pihak luar, biasanya – peran dan fungsi PR semakin dituntut ke arah yang managerial dan strategis. Semakin banyak perubahan dan tekanan terhadap perusahaan, semakin tinggi tuntutan terhadap praktek PR ke arah yang lebih manajerial dan strategis. Dalam era digital ini – sudah saatnya semua organisasi, baik pemerintah maupun swasta – tidak lagi menerapkan Humas yang konvensional protocol, dokumentasi, klarifikasi berita, press clipping dan sebagainya. Penguasaan media terutama media sosial perlu dimiliki oleh praktisi Humas, karena opini publik dapat berkembang yang dipicu dengan hanya satu foto atau tulisan di FB – yang dapat memungkinkan terjadinya sentimen publik dan berpotensi menjadi trending topic di media sosial dalam kalangan tertentu. Karena itu, diperlukan praktisi PR yang peka dan positioning – sehingga tidak menjadi kontradiksi antara nilai perusahaan dengan kelakuan pribadi praktisi PR nya. 8. Apa indikator / ukuran keberhasilan praktik PR? Banyak praktisi yang kurang memahami bahwa target kegiatan PR yang sebenarnya adalah merubah sikap publik’. Perubahan sikap publik ini tidak semata mata dapat dilakukan melalui iklan jor joran, jumpa pers yang berkali-kali, kampanye heboh di media terutama televisi dengan biaya yang aduhai. Tergantung di tahap mana kita mau mengevaluasi keberhasilan praktek PR apakah dari banyaknya media komunikasi yang dihasilkan, banyaknya kegiatan, besarnya anggaran yang digunakan atau sejauh mana kegiatan PR dapat merubah sikap publik. Sebagai ilustrasi jika yang diharapkan adalah merubah sikap publik, perlu satu rangkaian strategi pencapaian kearah yang diharapkan – kampanye yang terarah, terprogram dan berkesinambungan. Untuk korporat bisnis’ – indikator keberhasilan program adalah memperkecil kesenjangan antara harapan pimpinan lembaga dan harapan publik yang dapat dipenuhi oleh lembaga. Ukuran keberhasilan praktek PR hanya dapat diperoleh melalui Riset – yang dilakukan sebelum, di tengah dan sesudah program komunikasi dilakukan. Sejauh Mana terjadi perubahan kearah perbaikan trend, ratio, presentasi – yang diukur secara kuantitatif. Keberhasilan untuk menyajikan data secara kuantitatif inilah yang pada umumnya merupakan kendala praktisi PR untuk meyakinkan atasannya, sejauh mana PR memberikan kontribusi finance dan non finance kepada organisasi. Profesional PR harus dapat berbicara kepada manajemen dengan hard fact’ dalam bahasa Manajemen atau ROI. bukan ilusi, emosi atau asumsi. Posted in Majalah PR Indonesia
ContohBerbicara di Depan Umum. Contoh-contoh public speaking sangat bagus untuk mempelajari keterampilan baru atau meningkatkan keterampilan yang ada. Itu berlaku untuk berbicara di depan umum juga. Jika Anda mendapat kesempatan untuk mendengarkan beberapa pembicara publik dengan rating bagus, Anda harus melakukannya.
You know what's ironic? That we can spread information over the web through a quiz, and yet we have quizzes on that exact thing! That's right; this one is on public relations. Do you know your do's from your public forum don'ts? Can you tell what should be done and said online as opposed to in person or in a book? Are you the regular PR person in your group, who keeps the peace between your friends and other people they may have offended? Well then prove it; prove that you know what to say, when and how. Answer questions about speaking to individuals, groups or mass media. Answer why a person will take offense at your eyes, or why a group likes your smile! It's up to you to keep the peace, and to prove to your friends that you can! Top Trending Quizzes Do you understand Public Relations well? Do you know publicity and public relations are two different entities? Take this public relations trivia quiz with well-researched questions and answers to test your knowledge.... Questions 10 Attempts 4247 Last updated Aug 25, 2022 Sample Question What is a news story about a special event, a celebrity guest, a new promotional program, or other interesting topics that are sent to the news media in hopes that it will generate an article, an interview, or other media attention? Public relations Summary sheet News Release Fact sheets Answer these questions based on your reading Questions 8 Attempts 1502 Last updated Mar 22, 2022 Sample Question The essence of public relations is To create meaningful conversations with others To create and maintain an effective operating environment To discuss important topics and issues in front of large audiences To look professional This test is aim at testing your understanding on the lesson objectives learn on Module 1 of the course you are currently taking Questions 20 Attempts 141 Last updated Mar 22, 2022 Sample Question A PR is responsible for building the reputation and ___________ of an organization Interest Outlook Business Structure You may have heard the term “Public Relations” PR at work or even on TV at some point, and if you don’t know what it means, PR is the practice within a company of managing the spread of information between the... Questions 18 Attempts 1047 Last updated Mar 21, 2022 Welcome to the 2009 PRSA Ethics Quotient EQ Exam. This test has been developed to help public relations practitioners assess their sensitivity and knowledge of professional standards, according to the PRSA Member... Questions 14 Attempts 287 Last updated Mar 22, 2022 Sample Question You work for a cosmetics company that specializes in marketing its products through department stores and a growing network of “Tupperware”-like parties run by the consultants who work in your department store settings. One of the most successful sales people is Emily Wilson who for reasons only she knows, after getting a in psychology from a Midwestern university, chooses to work in one of your cosmetic departments. She is very good and a great relationship builder with customers. In fact, many customers call her “Doc.” A local television station calls and asks about her and her credentials. The reporter seems to think it is pretty cool to have someone like her in a department store cosmetics department. They want to interview customers to see if they really know why she is called “Doc.” What is the biggest issue you face in talking about this woman and her success? Which provisions of the PRSA Code of Ethics are affected? Select all that apply. Deception Disclosure Moral issues Phantom experience Popular Topics Recent Quizzes . Questions 33 Attempts 509 Last updated Mar 22, 2022 Sample Question What is a news story about a special event, a celebrity guest, a new promotional program, or other interesting topics that are sent to the news media in hopes that it will generate an article, an interview, or other media attention? Public relations Summary sheet News release Fact sheets Get your Company's PR profile Questions 7 Attempts 193 Last updated Mar 22, 2022 Sample Question Does your company have a Communications/Public Relations team? Yes No THIS IS A TRAINING QUIZ FOR THE CITY OF OTTAWA PARKS AND WADING POOL PROGRAM. This quiz conists of nine questions containing both true and false and multiple choice questions. Please answer by selecting the appropriate... Questions 9 Attempts 1114 Last updated Mar 22, 2022 Sample Question Which of the following are general Public Relations objectives for our program? To publicize the educational and recreational facilities available. To encourage maximum use of the wading pool site in serving the community. To promote the role of staff, enabling them to deliver effective service and leadership. To seek the cooperation of patrons in the interest of their own safety and the safety of others. All of the above.
. 149 175 355 248 274 44 427 353
pertanyaan kritis tentang public relations